Friday, June 22, 2007

Phenakistoscope

Phenakistoscope adalah salah satu alat pertama untuk membuat gambar bergerak dan juga pendahulu sinematografi. Bentuknya berupa piringan sederhana yang dipegang secara vetikal di muka cermin dan berputar mengitari porosnya. Subjek kelihatan bergerak kalau dilihat lewat celah piringan. (http://en.wikipedia.org/wiki/Phenakistoscope)

Workshop Membuat Phenakistoscope

Hari ini di studio kedatangan tamu-tamu cilik dari sekolah TK ECCD yang mengikuti Workshop Membuat Phenakistoscope. Mereka cukup senang bisa membuat sendiri mainan berputarnya. Mewarnai gambar-gambar yang sudah disediakan, memotong, dan menempelkan pada piringan karton kosong yang sudah ditandai dengan nomor-nomor sesuai urutan gambarnya. Lalu, mereka mencoba melihat hasil dari karya animasi sederhana tersebut di depan cermin. Senyum kecil merekah saat mengetahui gambar2 tersebut terlihat bergerak ketika berputar.

Thursday, June 21, 2007

"Lunch?"

Yah, kata-kata itu yang selalu saya tunggu ketika sudah tiba waktu makan siang. Dan Gerard Holthuis lah, seniman residensi dari Belanda, yang mengajak saya. Hampir setiap siang, ketika sama-sama sedang berada di studio, kami menyempatkan untuk makan dengan mencoba menu masakan di beberapa warung yang berbeda. Dalam referensi kami sudah ada beberapa warung yang masakannya cocok di lidah, seperti warung 33, Bu Mur, Handayani, dan Soto Ayam Jawa Timur. Sejauh yang saya tau, Gerard memang Indonesian Food Lover sejati...

Friday, June 15, 2007

Mas Muji



Saya dikenalkan kepada seorang penari bernama Mujiyana oleh Mas Bondan Nusantara. Mas Bondan dan Mas Muji adalah penggiat kesenian tari tradisional yang aktif menjalankan kegiatan pemberdayaan kesenian rakyat kepada masyarakat di daerah-daerah. Dari perkenalan itu saya memutuskan untuk memanggilnya "Mas". Bukannya bermaksud tidak sopan memanggil seseorang yang jauh lebih tua dengan panggilan mas, tapi karena alasan agar lebih dekat dan sedikit mengurangi pakewuh.
Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya saya berkesempatan untuk berkunjung ke rumah Mas Muji yang terletak di desa Kretek, Parangtritis. Saya ditemani oleh Anto, yang dengan sukarela membantu saya berproses dalam program residensi ini. Rumah Mas Muji yang sederhana bertembok anyaman bambu. Anyaman bambu tersebut menggantikan tembok bata yang sudah roboh akibat gempa pada tahun 2006. Meski hidup sederhana, Mas Muji cukup berbahagia dengan ditemani istri dan ketiga anaknya.



Dari obrolan dengan Mas Muji hari itu, saya mendapatkan berbagai cerita yang pernah dialaminya dalam menjalani proses berkesenian. Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan seni tari. Kelas 4 SD beliau sudah mengenal tari. Lalu minatnya untuk mendalami seni tari berlanjut ketika memasuki Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Sampai akhirnya beliau kuliah di Istitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan studi di Jurusan Seni Tari. Mas Muji menikah ketika menjalani masa-masa kuliah. Setelah lulus kuliah beliau benar-benar berprofesi sebagai penari. Beliau sudah 20 tahun menjadi penari Ramayana di Candi Prambanan dan memerankan tokoh Rahwana dalam pementasan tari tersebut. (bersambung...)

Thursday, June 14, 2007

Lingkaran-lingkaran Misterius Kamera Berputar

Dari awal saya memang ingin mencoba bereksperimen dengan hal-hal yang sifatnya berputar dengan menggunakan teknik-teknik fotografi. Lalu muncul ide untuk membuat kamera yang berputar, bukan berputar secara horizontal seperti membuat foto panorama yang bersambung, tapi secara vertikal layaknya gatling gun, senapan mesin berputar yang digunakan dalam Perang Dunia I. Seperti halnya gatling gun yang menggunakan tripod sebagai penyokong beratnya, kamera juga menggunakan tripod sebagai penyangganya. Tripod itulah yang akan saya rekayasa supaya dapat memutar kamera. Tapi, parahnya saya tidak punya gambaran bagaimana jadinya nanti foto-foto yang dihasilkan dengan teknik tersebut.


Tidak mudah bagi saya untuk memesan alat tambahan pada tripod untuk memutar kamera. Butuh waktu sebulan untuk menemukan orang yang dapat membuat alat yang sebenarnya sederhana tersebut. Akhirnya alat tersebut sanggup dikerjakan oleh Lik War, yang memiliki bengkel las di daerah Godean. Lik War sering membantu banyak seniman instalasi dalam proses kreasi karya-karyanya. Setelah seminggu memesan, akhirnya jadilah alat tersebut. Saya gembira sekali karena alat yang saya idam-idamkan telah siap dipakai. Saking senangnya, dalam seminggu setelah alat tersebut jadi, saya sudah menghabiskan 5 roll film untuk mencobanya.

gatling gun

Karena alat tersebut masih sangat sederhana dan perputarannya harus dilakukan dengan manual, maka shutter speed yang harus saya gunakan untuk memotret adalah speed lambat. Karena itu saya lebih banyak memotret lampu-lampu kota di malam hari untuk uji coba. Setelah melakukan tes untuk alat tersebut, lalu film-film negatif tersebut saya cetak. Hasilnya, tidak saya duga akan mendapatkan visual-visual yang sangat menarik. Lingkaran-lingkaran cahaya yang didapat dari lampu-lampu jalan, neon sign, banner dengan tulisan berjalan, sampai lampu-lampu kendaraan yang melintas di jalan-jalan terlihat mendominasi space foto dan sangat misterius. Dan saya cukup senang memainkan mainan baru ini...

Saturday, June 2, 2007

Catatan: Bulan Pertama



Sebuah pengalaman yang sangat baru bagi saya ketika menjalani residensi ini. Mendapatkan kesempatan untuk mengerjakan proyek-proyek kesenian dari ide-ide sendiri tanpa harus diganggu dengan persoalan bagaimana harus membiayai proyek-proyek tersebut. Suatu persoalan yang selama ini membebani saya ketika ingin berkarya hilang sama sekali, dan saya tidak perlu lagi khawatir untuk merealisasikan ide-ide yang saya inginkan. Sungguh, dalam seminggu pertama berada di Jogja, saya larut dalam euforia yang membebaskan pikiran-pikiran saya untuk menjelajahi ide-ide karya visual yang saya amati.

Dari beberapa kali berkunjung ke Jogja sampai pada masa saya menjalani program Landing Soon #3 ini, bagi saya Jogja adalah tempat dimana saya mendapatkan banyak hal yang dapat membangkitkan gairah untuk berkesenian. Semua tanda yang saya tangkap mulai dari karya-karya di galeri-galeri, mural-mural di tembok jalanan, sampai rambu-rambu lalu lintas pun seolah-olah berbicara mengungkapkan gagasan-gagasannya. Semuanya tergambar dalam benak saya. Sensani seperti inilah yang tidak saya rasakan di kota-kota lain.

Setelah saya berada di Jogja untuk menjalankan program residensi ini, ada satu pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya, yaitu: "Apakah saya seniman"? Memang selama ini saya sering melakukan aktifitas kesenian. Asal saya senang melakukannya dan pesan-pesan saya tersampaikan kepada orang lain lewat karya, itu sudah cukup bagi saya. Namun saya tidak pernah peduli dengan status saya. Karena, bagi saya seniman itu adalah orang yang konsisten dan menjiwai seni, tidak hanya dalam karya-karyanya tetapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti halnya seorang ustad yang mengerti benar tentang agama dan dapat menularkan nilai-nilai religi kepada sesamanya atau seorang ilmuwan yang dengan kecerdasanya mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta manfaatnya untuk kepentingan umat manusia. Sedangkan saya tidak pernah membayangkan akan eksistensi saya dalam berkesenian. Mungkin jika ada yang bertanya: "Apakah kamu seniman"?, lalu saya akan menjawab: "Saya bukan seniman, saya hanyalah seorang teman".