Sunday, November 18, 2007

Potret Pemain Ketoprak

Foto-foto ini diambil sebelum para pemain ketoprak tampil dalam sebuah pertunjukan di salah satu dusun di Bantul, Yogyakarta.






Wednesday, November 7, 2007

Me and Mirrors #2

kediri, 2006


surabaya, 2007


surabaya, 2007


surabaya, 2005


malang, 2005


kediri, 2006


kediri, 2006


malang, 2006

Me and Mirrors (Self-Portrait on Mirrors)

Ketika menemui bayangan saya dalam pantulan cermin, saya sering merasakan seolah-olah melihat sebuah dimensi yang asing. Lalu saya akan bertanya pada diri saya sendiri; Apakah benar itu saya?, Siapakah sebenarnya saya? Dialog-dialog semacam itu sering menjadi renungan ketika saya berhadapan dengan bayangan saya sendiri. Dialog yang mempertanyakan sebuah diri, pada sebuah identitas, yaitu saya.

Momen itulah yang saya abadikan. Dengan mengabadikan momen-momen ‘berdialog’ tersebut, saya akan bisa mengingat apa, kapan dan di mana saya berpikir tentang diri saya sendiri. Apa yang saya dapatkan adalah pemahaman tentang refleksi. Pertama, refleksi dalam pemahaman sebuah pantulan bayangan yang menghasilkan citra visual diri saya, dan kedua, refleksi yang juga berarti pemikiran tentang masa lalu, flashback, sebuah visi yang jauh lebih dalam dimana saya berpikir tentang hal-hal yang personal, tentang jati diri, tentang permasalahan-permasalahan saya.

Self-portraits dari cermin ke cermin yang saya hasilkan ini pada awalnya adalah sebuah kebiasaan yang tidak saya sengaja. Ketika saya sedang berpose, beraktivitas, atau hanya lewat di depan cermin, spontan saja saya keluarkan kamera dari tas dan mengabadikan momen tersebut. Setelah saya sadari, ternyata kebiasaan ini berulang-ulang dan menjadi berarti bagi saya. Foto-foto ini adalah bagian dari perjalanan saya memahami diri saya sendiri.


malang, 2005


malang, 2005


malang, 2005


malang, 2006

Tuesday, November 6, 2007

Dinding-Dinding Keluh Kesah

Foto-foto ini adalah coretan-coretan yang berasal dari dinding-dinding sebuah menara mercu suar di Socah, Kecamatan Kamal, Madura.









latest works of spinning camera

(surabaya)





Tuesday, October 16, 2007

Pemudik Roda Dua



Ketika lebaran datang, maka silaturahmi pun menjadi sebuah keharusan bagi hampir seluruh masyarakat kita yang merayakannya. Dan ada tradisi yang selalu dilakukan oleh mereka yang berada jauh dari keluarga untuk berkunjung di saat lebaran, yaitu mudik atau pulang kampung. Hal itu juga saya lakukan bersama orang tua dan saudara kali ini. Kami mengendarai mobil untuk mudik.

Lalu lintas saat itu cukup padat. Para pemudiklah yang memadati sepanjang jalan, karena saat itu adalah hari kedua setelah hari raya. Perhatian saya tidak pernah lepas dari para pengendara sepeda motor yang melintas di samping kiri dan kanan mobil kami. Mereka tiada habisnya. Hampir selalu ada di sepanjang jalan yang saya lalui dalam perjalanan. Saya teringat laporan di televisi dan surat kabar bahwa pemudik dengan sepeda motor tahun ini jumlahnya memang meningkat. Dan ternyata memang benar. Selama perjalanan itu, saya memotret pemudik-pemudik tersebut dari dalam mobil.



Walaupun saya berada di dalam mobil ber-AC, tapi saat mengamati para pemudik tersebut seakan-akan saya juga merasakan teriknya matahari yang sedang berada tepat di atas kepala. Ya, saya dulu juga pernah mengalami seperti itu biarpun hanya tiga jam perjalanan. Mudik bersepeda motor. Selain kepanasan, asap kendaraan yang berterbangan bebas di jalanan juga pasti mampir masuk paru-paru. Tidak jarang punggung dan pergelangan tangan terasa pegal-pegal, pantat terasa panas, atau bahkan pusing kepala. Tapi keluhan-keluhan seperti itu tidak terasa ketika sedang ngebut memacu adrenalin dan ketika menyadari bahwa banyak pengendara lain juga merasakan hal yang sama.



Para pemudik tersebut tampak serupa dengan penanda-penanda yang melekat pada dirinya, sehingga memudahkan identifikasi siapa mereka. Helm berkaca hitam atau kacamata, masker di wajah, jaket atau pakaian berlengan panjang untuk mencegah dinginnya malam dan sengatan matahari di waktu siang, tas besar atau bawaan yang banyak, tidak jarang anak mereka yang masih kecil pun ikut serta. Ada juga beberapa pengendara sepeda motor yang tidak benar-benar mudik. Mereka hanya berkunjung ke tempat saudara di kampung sebelah yang tidak jauh dari rumahnya. 'Pemudik' ini biasanya berpakaian lebih rapi dan tidak membawa banyak bawaan. Mereka memakai 'busana sopan' yang terkesan sedikit formal untuk menjaga kesopanan ketika bertamu. Batik, setelan baju muslim, peci/kopiah, jilbab, beberapa tidak memakai helm ketika berkendara.

Friday, June 22, 2007

Phenakistoscope

Phenakistoscope adalah salah satu alat pertama untuk membuat gambar bergerak dan juga pendahulu sinematografi. Bentuknya berupa piringan sederhana yang dipegang secara vetikal di muka cermin dan berputar mengitari porosnya. Subjek kelihatan bergerak kalau dilihat lewat celah piringan. (http://en.wikipedia.org/wiki/Phenakistoscope)

Workshop Membuat Phenakistoscope

Hari ini di studio kedatangan tamu-tamu cilik dari sekolah TK ECCD yang mengikuti Workshop Membuat Phenakistoscope. Mereka cukup senang bisa membuat sendiri mainan berputarnya. Mewarnai gambar-gambar yang sudah disediakan, memotong, dan menempelkan pada piringan karton kosong yang sudah ditandai dengan nomor-nomor sesuai urutan gambarnya. Lalu, mereka mencoba melihat hasil dari karya animasi sederhana tersebut di depan cermin. Senyum kecil merekah saat mengetahui gambar2 tersebut terlihat bergerak ketika berputar.

Thursday, June 21, 2007

"Lunch?"

Yah, kata-kata itu yang selalu saya tunggu ketika sudah tiba waktu makan siang. Dan Gerard Holthuis lah, seniman residensi dari Belanda, yang mengajak saya. Hampir setiap siang, ketika sama-sama sedang berada di studio, kami menyempatkan untuk makan dengan mencoba menu masakan di beberapa warung yang berbeda. Dalam referensi kami sudah ada beberapa warung yang masakannya cocok di lidah, seperti warung 33, Bu Mur, Handayani, dan Soto Ayam Jawa Timur. Sejauh yang saya tau, Gerard memang Indonesian Food Lover sejati...

Friday, June 15, 2007

Mas Muji



Saya dikenalkan kepada seorang penari bernama Mujiyana oleh Mas Bondan Nusantara. Mas Bondan dan Mas Muji adalah penggiat kesenian tari tradisional yang aktif menjalankan kegiatan pemberdayaan kesenian rakyat kepada masyarakat di daerah-daerah. Dari perkenalan itu saya memutuskan untuk memanggilnya "Mas". Bukannya bermaksud tidak sopan memanggil seseorang yang jauh lebih tua dengan panggilan mas, tapi karena alasan agar lebih dekat dan sedikit mengurangi pakewuh.
Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya saya berkesempatan untuk berkunjung ke rumah Mas Muji yang terletak di desa Kretek, Parangtritis. Saya ditemani oleh Anto, yang dengan sukarela membantu saya berproses dalam program residensi ini. Rumah Mas Muji yang sederhana bertembok anyaman bambu. Anyaman bambu tersebut menggantikan tembok bata yang sudah roboh akibat gempa pada tahun 2006. Meski hidup sederhana, Mas Muji cukup berbahagia dengan ditemani istri dan ketiga anaknya.



Dari obrolan dengan Mas Muji hari itu, saya mendapatkan berbagai cerita yang pernah dialaminya dalam menjalani proses berkesenian. Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan seni tari. Kelas 4 SD beliau sudah mengenal tari. Lalu minatnya untuk mendalami seni tari berlanjut ketika memasuki Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Sampai akhirnya beliau kuliah di Istitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan studi di Jurusan Seni Tari. Mas Muji menikah ketika menjalani masa-masa kuliah. Setelah lulus kuliah beliau benar-benar berprofesi sebagai penari. Beliau sudah 20 tahun menjadi penari Ramayana di Candi Prambanan dan memerankan tokoh Rahwana dalam pementasan tari tersebut. (bersambung...)

Thursday, June 14, 2007

Lingkaran-lingkaran Misterius Kamera Berputar

Dari awal saya memang ingin mencoba bereksperimen dengan hal-hal yang sifatnya berputar dengan menggunakan teknik-teknik fotografi. Lalu muncul ide untuk membuat kamera yang berputar, bukan berputar secara horizontal seperti membuat foto panorama yang bersambung, tapi secara vertikal layaknya gatling gun, senapan mesin berputar yang digunakan dalam Perang Dunia I. Seperti halnya gatling gun yang menggunakan tripod sebagai penyokong beratnya, kamera juga menggunakan tripod sebagai penyangganya. Tripod itulah yang akan saya rekayasa supaya dapat memutar kamera. Tapi, parahnya saya tidak punya gambaran bagaimana jadinya nanti foto-foto yang dihasilkan dengan teknik tersebut.


Tidak mudah bagi saya untuk memesan alat tambahan pada tripod untuk memutar kamera. Butuh waktu sebulan untuk menemukan orang yang dapat membuat alat yang sebenarnya sederhana tersebut. Akhirnya alat tersebut sanggup dikerjakan oleh Lik War, yang memiliki bengkel las di daerah Godean. Lik War sering membantu banyak seniman instalasi dalam proses kreasi karya-karyanya. Setelah seminggu memesan, akhirnya jadilah alat tersebut. Saya gembira sekali karena alat yang saya idam-idamkan telah siap dipakai. Saking senangnya, dalam seminggu setelah alat tersebut jadi, saya sudah menghabiskan 5 roll film untuk mencobanya.

gatling gun

Karena alat tersebut masih sangat sederhana dan perputarannya harus dilakukan dengan manual, maka shutter speed yang harus saya gunakan untuk memotret adalah speed lambat. Karena itu saya lebih banyak memotret lampu-lampu kota di malam hari untuk uji coba. Setelah melakukan tes untuk alat tersebut, lalu film-film negatif tersebut saya cetak. Hasilnya, tidak saya duga akan mendapatkan visual-visual yang sangat menarik. Lingkaran-lingkaran cahaya yang didapat dari lampu-lampu jalan, neon sign, banner dengan tulisan berjalan, sampai lampu-lampu kendaraan yang melintas di jalan-jalan terlihat mendominasi space foto dan sangat misterius. Dan saya cukup senang memainkan mainan baru ini...